Pemerintah telah menerbitkan ketentuan terbaru mengenai penghitungan PPN atas pupuk bersubsidi. Aturan ini disusun untuk menjamin rasa keadilan dan memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan penyerahan pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian. Bagaimana cara menghitungnya?
Contoh Kasus
1. Pada tanggal 18 Mei 2022, PT Pupuk Indonesia (Persero) sebagai produsen Pupuk Bersubsidi mengajukan permintaan pembayaran subsidi Pupuk Bersubsidi kepada KPA sebesar Rp90.000.000.000 atas penyerahan pupuk bersubsidi yang telah dilakukan selama bulan April 2022. Tarif PPN yang berlaku adalah sebesar 11 %.
2. Pada tanggaI 19 April 2022, PT Pupuk Indonesia (Persero) sebagai produsen pupuk bersubsidi menyerahkan 5.500 ton pupuk Urea (bersubsidi) kepada distributor. Harga eceran tertinggi (HET) pupuk urea yang berlaku sebesar Rp2.250 per kilogram. Tarif PPN yang berlaku adalah sebesar 11%.
Selain itu, dalam melaksanakan kegiatan usahanya, PT Pupuk Indonesia (Persero) menjual pupuk yang sudah di dalam kemasan. Oleh karena itu, PT Pupuk Indonesia (Persero) membeli kemasan pupuk tersebut kepada PT Nusantara Packing sebesar Rp150.000.000 dan atas pembelian tersebut terutang PPN senilai Rp16.500.000.
Maka bagaimana ketentuan pengenaan PPN atas 2 kasus tersebut?
Jawaban
Atas penyerahan pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian oleh PKP dikenai PPN. PPN yang dikenakan atas penyerahan pupuk bersubsidi tersebut dihitung dengan cara mengalikan tarif PPN yang berlaku dengan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
Adapun Nilai Lain yang dimaksud ini terbagi menjadi 2, yaitu:
- Bagian harga yang mendapatkan subsidi, diperoleh dari formula perhitungan 100/(100+t) x jumlah pembayaran subsidi, dan
- bagian harga yang tidak mendapatkan subsidi, diperoleh dari formula perhitungan 100/(100+t) x Harga Eceran Tertinggi (HET) dengan ketentuan t merupakan angka pada tarif PPN.
Tarif PPN yang dikenakan sesuai dengan tarif yang berlaku sejak 1 April 2022 yaitu sebesar 11% dan akan kembali naik menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Hal ini diatur dalam peraturan terbaru yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.03/2022 (PMK 66/2022).
Dalam hal mekanisme pemungutan, PPN atas penyerahan pupuk bersubsidi dipungut satu kali oleh produsen pada saat penyerahan pupuk bersubsidi kepada distributor dan terutang pada saat produsen membuat Faktur Pajak. Adapun Produsen akan membuat dua Faktur Pajak, yaitu:
a. ketika produsen mengajukan permintaan pembayaran subsidi pupuk bersubsidi kepada KPA dengan kode Faktur Pajak 02, dan
b. ketika produsen menyerahkan pupuk bersubsidi kepada distributor dengan kode Faktur Pajak 04.
Maka, implementasi pada 2 contoh kasus di atas, PT Pupuk Indonesia (Persero) selaku produsen harus memungut PPN atas penyerahan pupuk bersubsidi, PPN yang terutang dihitung sebesar:
1. Dasar Pengenaan Pajak = 100/111 x Rp90.000.000.000,00 = Rp81.081.081.081,00
PPN terutang = 11% x Rp81.081.081.081,00 = Rp8.918.918.919,00
2. Dasar Pengenaan Pajak = 100/111 x 5.500.000 x Rp2.250,00 = Rp11.148.648.649,00
PPN terutang = 11% x Rp11.148.648.649,00 = Rp1.226.351.351,00
Lebih lanjut Pasal 9 PMK 66/2022 menjelaskan bahwa Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar daerah sehubungan dengan dengan penyerahan pupuk bersubsidi yang dilakukan oleh produsen, dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan.
Maka dalam kasus ini, PPN yang telah dipungut atas pembelian bahan kemasan oleh PT Pupuk Indonesia (Persero) senilai Rp16.500.000,00 merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.